Rabu, 20 Mei 2009

OPINI PENDIDIKAN


Kambing Hitam Bernama Ujian Nasional

Oleh : Ridwan Demmatadju

Upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia boleh jadi hanya isapan jempol belaka dan penuh dengan kebohongan yang massif terjadi depan mata. Perangkat Ujian Nasional (UN) menjadi jalan pintas untuk mengukur keberhasilan sebuah intitusi formal maulai dari sekolah hingga pejabat kepala dinas pendidikan baik di tingkat kabupaten hingga di pusat. Ketika angka-angka peningkatan kelulusan itu terlihat mengalami peningkatan yang cukup signifikan maka disimpulkanlah bahwa mutu pendidikan membaik.Namun jika angka-angka itu terlihat anjlok maka mulai dari pejabat di pusat hingga di kabupaten ramai-ramai mencari kambing hitam untuk dijadikan tumbal sorotan masyarakat serta media cetak dan elektronik.

Sebenarnya apa yang salah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.Padahal anggaran pemerintah yang digelontorkan disektor pendidikan kita terbilang cukup besar jumlahnya. Dari kebijakan anggaran dari Pemerintah sudah cukup berpihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita.Namun banyak anggapan dengan besarnya anggaran saja tidaklah cukup untuk mendongkrak mutu pendidikan kita hari ini, karena sesungguhnya persoalan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Membicarakan mutu pendidikan sangatlah kompleks permasalahannya.

Kemudian,untuk membedah sekaligus mencari solusi atas persolan dunia pendidikan hingga hari ini tak ada satupun teori maupun metode yang baku dan berlaku permanent. Bahkan dari sekian banyak seminar,workshop, yang dibawakan oleh para pakar pendidikan di Indonesia hari ini faktanya mutu pendidikan kita masih terbelakang dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Dari berbagai persoalan yang terjadi di dunia pendidikan kita hari ini, nampaknya kita telah terjebak pada aturan main yang sangat kaku dari perencanaan peningkatan mutu pendidikan yang dikeluarkan pihak Depdiknas di Jakarta. Kendati dalam penjabarannya pihak Depdiknas sebenarnya, mengharapkan adanya kreativitas dari operator pendidikan mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota dalam hal ini Kepala Sekolah dan guru dapat menyesuaikan format kurikulum yang dibuat pihak Depdiknas. Karena disadari penjabaran kurikulum di sekolah itu berperinsip pada fleksibilitas tidak kaku, disesuaikan dengan kondisi sekolah di tiap daerah. Namun dalam kenyataannya masih banyak juga yang tak memahami prinsip dasar dari kurikulum itu. Disinilah persoalan besar yang menurut penulis memerlukan perhatian serius dari pejabat dinas pendidikan yang berwenang untuk mengaturnya. Jika tidak maka benang kusut persoalan pendidikan di Indonesia tak akan pernah menemukan titik penyelesaian.

Membicarakan wacana mutu pendidikan kita hari ini, lagi-lagi kita selalu terjebak pada perdebatan dengan argumentasi yang dangkal, bahwa mutu pendidikan hanya menjadi tanggungjawab guru yang dianggap sebagai operator lapangan. Paradigma masyarakat ini juga menjadi soal, padahal untuk mengangkat mutu pendidikan adalah tanggungjawab semua pihak yang terkait dengan pendidikan, bukan ditangan guru dan kepala sekolah saja.

Sementara, upaya yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas selaku penanggungjawab pengembangan dan perencanaan mutu pendidikan di Indonesia juga terkesan menyederhanakan sekaligus mengesampingkan persoalan krusial yang terjadi di setiap daerah dalam menerapkan standar mutu pendidikan. Dengan pemberlakuan UN dengan materi yang seragam serta tingkat kesulitannya sama, ternyata hingga hari ini masih menjadi polemik dikalangan praktisi pendidikan utamanya guru yang mengajar di sekolah.

Sangat ironis memang, ketika pihak Depdiknas menerapkan standar secara nasional angka kelulusan dengan nilai 5.50 untuk semua mata pelajaran UN. Dari angka kelulusan ini saja setidaknya menjadi masalah besar telah terjadi di setiap sekolah di daerah tertinggal dengan fasilitas dan tenaga pengajar dimiliki yang tidak memamadai untuk mengejar angka kelulusan tersebut. Sebagai konsekuensi keputusan yang berlaku nasional dan bersifat “dipaksakan” dalam pelaksanaannya di setiap provinsi dan kabupaten/kota sehingga menimbulkan respons yang negatif dari pejabat pendidikan di daerah. Dengan berbagai cara dan upaya untuk mendapatkan penilaian lulus hingga 100 persen ditempuh oleh pihak yang berkepentingan untuk mengangkat citra pendidikan di daerahnya, meski dengan cara-cara yang tidak patut diteladani seperti membocorkan soal, menyebarkan jawaban kepada siswa hingga membentuk tim sukses UN. Parahnya lagi, perbuatan tidak terpuji ini dilakukan oleh oknum kepala sekolah dan guru-guru, serta pengawas UN seperti banyak diberitakan di media cetak dan televisi sesaat menjelang pelaksanaan UN 2009 di seluruh Indonesia.

Dari fakta-fakta yang terpublikasi secara terbuka ini setidaknya menjadi pukulan berat bagi Depdiknas untuk melakukan perubahan secara komprehensif. Bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Paling tidak ada beberapa tawaran solusi untuk melakukan perubahan dalam penilaian kualitas pendidikan kita khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menegah.

Pertama, memberikan kewenangan setiap daerah baik di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota untuk menentukan sendiri standar kelulusan dalam pelaksanaan Ujian Nasional, yang bermuara pada penilaian dari pihak sekolah. Dengan pertimbangan bahwa penilaian secara nasional yang selama ini diberlakukan selama ini tidak memberikan jaminan mutu terhadap dunia pendidikan kita. Mutu pendidikan kita dari hari ke hari semakin buruk saja jika kita mengacu angka-angka sebagai bentuk penilaian kuantitatif. Dan rupaya Depdiknas telah terjebak pada penilaian angka-angka yang secara implementaif tidak dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Kedua, Persoalan ini dapat teratasi jika pihak penyelenggara pendidikan baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota yang didukung pihak sekolah memiliki sikap tegas dan kesamaan presepsi dalam memerikan output penilaian mutu pendidikan.

Ketiga, semua pihak penyelenggara pendidikan memiliki transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanan kebijakan di bidang pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran di sector pendidikan. Hal ini sangat penting diterapkan untuk mengajak peran serta semua elemen masyarakat untuk peduli terhadap mutu pendidikan di Indonesia.

Keempat, untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bernilai serta bermanfaat bagi masyarakat diperlukan gerakan pencerahan sebagai bentuk kesadaran moral semua pihak yang terkait dengan pendidikan, utamanya guru dan kepala sekolah sebagai ujung tombak peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Tentunya, pihak pemerintah membuat regulasi peningkatan penghargaan dan apresiasi terhadap guru di lapangan. Salah satu upaya yang telah dilakukan peemerintah adalah dengan sertifikasi guru dan memberikan tunjangan kepada guru tidak tetap (GTT) yang telah mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Setidaknya upaya pemerintah pusat melalui Depdiknas ini telah memberikan apresiasi terhadap guru.

Kelima, pihak Diknas baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari masyarakat. Karena selama ini banyak institusi yang dibentuk untuk mengawal kebijakan pemerintah di bidang pendidikan namun terkesan tidak bekerja sesuai harapan, seperti komite sekolah, dewan pendidikan. Termasuk membuka diri terhadap kritik media dan lembaga swadaya masyarakat peduli pendidikan, karena sesungguhnya persoalan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia juga sangat ditentukan oleh keterlibatan semua stakeholder untuk ikut membantu. Selain itu, upaya menyelesaikan persoalan mutu pendidikan nampaknya problem krusial juga terjadi di luar sistem birokrasi sekolah, seperti faktor lingkungan sosial, latar belakang ekonomi dan ketersediaan sarana belajar bagi masyarakat menjadi variable yang ikut menentukan mutu pendidikan di daerah.

Dari lima tawaran solusi ini, paling tidak dapat dijadikan acuan untuk mengambil keputusan apakah UN masih layak dipertahankan atau dilakukan revisi untuk perubahan. Hal ini terpulang pada sang penguasa di negeri ini yang mengatur system pendidikan di Indonesia dan political will dari Depdiknas untuk mendengar masukan dari masyarakat. UN dapat saja dipertahankan dengan beberapa catatan penting yang memerlukan pembahasan secara teknis dengan memperhatikan indicator outputnya sehingga tidak menimbulkan polemik yang tak kunjung selesai.Apalagi kita sibuk mencari kambing hitam.

Penulis adalah mantan wartawan, kini bekerja sebagai praktisi pendidikan di SMA Negeri 1 Latambaga, Kabupaten Kolaka. Email : ridwandmkolaka@yahoo.co.id

1 komentar:

IRWANDEMMATADJU mengatakan...

Assalamu Alaikum WW,
Pada prinsipnya saya sepakat dengan opini adik tentang pelasanaan UAN,tapi petinggi-petinggi republik ini belum mau melepaskan UAN karena ada kepentingan proyek utamanya penggandaan soal dll,dan masih banyak lagi alasan mereka mengapa tetap mempertahankan UAN,kita tinggal menunggu waktu saja yang mau menghentikan mereka.