Kamis, 28 Mei 2009

Bedah Rumah Belum Selesai




SISWA SMAN 1 LATAMBAGA BELAJAR KOMPUTER

Potret Keluarga Ridwan Demmatadju


KANTOR BUPATI KOLAKA

MENCARI SEKOLAH BERMUTU


Masih ingat iklan televisi yang sering diulang-ulang. “Suzuki, Inovasi tiada henti.” Itulah iklannya. Apa yang terpikirkan pada iklan tersebut? Suzuki selalu melakukan inovasi. Suzuki senantiasa berinovasi. Inovasi, itulah Suzuki!. Tulisan ini tidak bermaksud mempromosikan Suzuki. Tulisan ini tidak hadir untuk maksud promosi tersebut. Justru, dari sebuah kata “inovasi” Suzuki banyak dikenal orang. Jika Suzuki tidak melakukan inovasi, maka Suzuki akan mati. Kira-kira begitulah jika ditafsirkan.

Analogi dari iklan tersebut adalah “Sekolah, inovasi tiada henti.” Mengapa sekolah harus melakukan inovasi?” Sekolah merupakan sistem organisasi yang kompleks. Didalamnya terdapat beraneka ragam siswa. Bermacam-macam pola pendekatan guru kepada siswa. Setiap karyawan sekolah punya keinginan yang berbeda-beda. Ada dinas pendidikan dengan para pengawas dan pejabat yang terkait dengan keberadaan sekolah. Ada Yayasan bagi sekolah swasta sebagai penyelenggara sekolah. Kesemua ragam tersebut terjalin dalam komunikasi yang namanya sekolah.

Ketika sekolah tidak mampu memaknai kehadirannya, yang terjadi adalah sekolah telah gagal memberikan yang terbaik kepada setiap elemennya. Yang paling menderita adalah para siswa. Siswa terbelenggu. Potensinya tidak berkembang. Masa depan siswa terbayang menjadi terbengkalai. Tidak ada lagi cerita hebat pada siswa yang berprestasi. Teriakan sekolah telah gagal membahana. Tidak ada lagi lagu anak-anak yang mendendangkan Himne Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Sebab guru pun telah gagal mengembangkan potensi kecerdasan anak.

Padahal para siswa dikarunia Yang Mahakuasa berbagai kecerdasan. Yang oleh Howard Gardner disebut kecerdasan majemuk. Semua anak mempunyai kelebihan. Semua anak punya yang namanya kecerdasan majemuk. Ada cerdas bahasa. Ada cerdas matematika. Ada cerdas musik. Ada pula cerdas tubuh. Empat kecerdasan lain juga ada pada siswa seperti cerdas spasial, cerdas natural, cerdas bergaul, dan cerdas diri.

Setiap kecerdasan tersebut memiliki karakteristiknya masing-masing. Setiap siswa akan melakukan kegetian-kegiatan tertentu yang memperlihatkan kecerdasan terkuatnya. Kegiatan seperti menulis cerita dan esai, menceritakan lelucon, cerita, plesetan, membaca puisi, menggunakan kosakata luas, bermain word game dan menggunakan kata untuk menggambarkan sebuah citra merupakan kegiatan yang mencerminkana cerdas bahasa.

Guru dapat mendorong siswa yang demikian ke dalam pengembangan kecerdasan berbahasanya seperti mendorong penggunaan kata-kata yang tidak lazim, melibatkan siswa dalam debat dan presentasi lisan, menunjukkan bagaimana puisi dapat menyampaikan emosi dan sebagainya. Kondisi seperti inilah yang kemudian akan melahirkan inovasi. Melahirkan hal-hal baru yang berbeda dari sebelumnya. Menemukan sesuatu yang membuat “AHA!” Mewujudkan ide-ide baru atau produk-produk karya baru yang belum pernah ada. Mengadakan pembaharuan dari yang sudah ada.

Sekolah jika tidak ingin gagal, ia harus melakukan inovasi. Inovasi ini akan melahirkan arah pengembangan sekolah. Ibarat mata angin, ia menunjukkan kepada nelayan apa yang harus diperbuatnya. Bagaikan seorang nakhoda, ia akan menjadikan arah angin yang berhembus sebagai tanda penunjuk apa yang sedang dan akan terjadi pada lautan yang sedang diarunginya.

Inovasi akan melahirkan para siswa yang berkembang potensinya, berharga kehadirannya, dan membuat para guru dan orang tua senantiasa tersenyum bahagia. Tidak ada karya yang dihasilkan melainkan ia adalah mewakili kecerdasan siswa. Semua karya dan kemampuan siswa diapresiasi dengan hati oleh guru.

Tidak ada kata siswa yang gagal lahir dari sekolah yang menerapkan inovasi-inovasi. Inovasi sekolah tidak akan berhenti untuk mencerdaskan setiap siswa dan mengukuhkan keyakinannya kepada Allah yang Mahakuasa, pencipta alam semesta. Inovasi menjadi tradisi sekolah. Semua elemen bergerak. Semua komponen berkarya. Sekolah inilah yang dinamakan sekolah inovatif.

Sekolah inovasi akan mengembangkan lima fokusnya. Lima fokus ini akan mendorong sekolah untuk melahirkan inovasi-inovasi.

Melaksanakan Manajemen Barbasis Sekolah secara konsisten

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah ilmu bagus dalam mengelola sekolah secara lebih baik. School based management. Ada lima kata kunci keberhasilan MBS ini dilaksanakan : transparansi, kerjasama, kemandirian, akuntabilitas, dan partisipasi. MBS mampu mendorong sekolah untuk menyusun dan melaksanakan program-program sekolah yang didasarkan pada kondisi objektif sekolah dan mampu menumbuhkan iklim kerja yang kondusif. Tidak jaminan bahwa begitu MBS diterapkan, akan berdampak pada peningkatan mutu sekolah. Justru, MBS memerlukan perubahan pola pikir, budaya kerja dan kultur sekolah. MBS lebih menekankan pada inovasi manajemen sekolah. Inovasi manajemen sekolah yang awalnya tertutup, serba menunggu, dan miskin kreativitas berubah menjadi keterbukaan manajemen, iklim kerja yang baik, kaya kreativitas, dan terjalin kerjasama sinergis antara semua warga sekolah sehingga peningkatan mutu di sekolah menjadi berkelanjutan, tiada henti.

Mengembangkan inovasi pembelajaran

Pernah suatu hari diadakan pelatihan kepada 100 orang dari para siswa Sekolah Menengah Industri Pariwisata di Cibinong, instruktur memberikan tugas kepada peserta untuk menggambar bebas. Setelah waktu yang telah ditentukan usai, Instruktur berkata, “Coba perlihatkan gambarmu! Ternyata sungguh mengagetkan hanya ada 3 orang yang menggambar bukan pemandangan. Sisanya serentak menggambar pemandangan. Yang lebih mengherankan, ternyata gambar pemandangannya mirip : 2 gunung, di tengah-tengahnya matahari, di sekelilingnya ada sawah dan satu jalan. Apa yang kemudian dapat kita lihat? Bisa jadi kasuistik ini menggejala pada para siswa kita. Boleh dicoba. Yang kemudian terbetik adalah kegagalan dalam proses membangun kreativitas belajar. Pembelajaran yang ada monoton. Pembelajaran yang ada tidak bervariasi. Pembelajaran yang diberikan menumpulkan kreativitas. Menjauhkan dari kata inovasi.

Seharusnya inovasi pembelajaran tidak boleh berhenti pada dimensi pembelajaran. Jika berhenti, ia akan mati. Pembelajaran yang monoton tidak akan menimbulkan kegairahan dan spirit perubahan bagi siswa. JIka inovasi identik dengan penambahan jam belajar, itu keliru. Inovasi pembelajaran dilakukan pada tataran menumbuhkan efektivitas hasil bukan pada penambahan jam belajar. Inovasi pembelajaran dilakukan terhadap metode atau strategi pembelajaran yang dilakukan seperti : student centered, reflective learning, active learning, enjoyble and joyful learning, cooperative learning, quantum learning, learning revolution, dan contextual learning. Inovasi pembelajaran tidak hanya yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan kesiswaan seperti bakti sosial, lomba karya tulis, supercamp, lomba olahraga dan kesenian, berbagai pentas kreativitas juga merupakan inovasi pembelajaran. Berbagai inovasi pembelajaran dapat dilahirkan. Namun tetap bermuara pada peningkatan hasil belajar baik yang akademik maupun nonakademik.

Mengembangkan lingkungan sekolah yang kondusif.

Jika di lorong-lorong sekolah terdapat majalah dinding penuh dengan kreasi siswa yang dipajang. Ditata menarik. Penuh warna warni. Guru dan siswa membaca dan menulis dalam kreasinya masing-masing. Dipelihara dari kebersihannya. Apa yang akan dilakukan oleh siswa baru? Dia akan membaca membaca majalah dinding itu dan secara perlahan akan ikut membuat tulisan agar dapat dipajang juga seperti tulisan yang dilihat dan dibacanya.

Apabila sekolah mempunyai perpustakaan, suasananya di perpustakaan sejuk, buku-buku tertata rapi, meja dan kursi tertata dengan setting belajar, dan disitu sudah banyak orang yang sedang asyik membaca, apa yang akan kita lakukan?

Terhadap pertanyaan itu, pada umumnya kita akan menjawab:”Ya, kita akan terdorong untuk ikut membaca. Bahkan akan sungkan saat berjalan dengan sepatu bersuara. Apalagi mulutnya bernyayi.

Dua pertanyaan dan jawaban di atas menunjukkan bahwa siswa akan terdorong untuk ikut membaca atau menulis karena situasi di lorong-lorong sekolah dan di perpustakaan menyenangkan dan kebanyakan guru dan siswa membaca dan menulis. Kondisi itu sedikit banyak memperlihatkan sekoloah sebagai bentuk mini dari komunitas belajar dapat ditumbuhkembangkan. Lingkungan sekolah baik fisik maupun sosial harus dapat mendorong komunitas siswa untuk selalu dan selalu meningkatkan kegiatan belajar. Demikian juga, dalam konteks sosial, kepala sekolah, guru, termasuk siswa secara bersama-sama berusaha menumbuhkan kondusivitas sosial untuk kegiatan belajar mengajar. Dengan kata lain, penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif dapat memunculkan berbagai inovasi kegiatan belajar-mengajar sehingga komunitas belajar siswa dapat diarahkan pada optimalisasi prestasi siswa dan sekolah.

Jangan sampai yang muncul adalah siswa stress dengan sekolah. Ketika M&M/Mars menyurvei remaja usia 12-17 tahun tentang penyebab stress di dalam kehidupan mereka, inilah yang mereka katakan:

* Mengikuti ujian masuk perguruan tinggi SAT dan ACT (59%)
* Masuk perguruan tinggi (54%)
* Mencari pekerjaan setelah menyelesaikan sekolah menengah atas atau perguruan tinggi (50%)
* Sekolah (40%)

(Minneapolis StarTribune, 12 Mei 1998 dalam Peter L Benson : 2007: 406)

Jadi sekolah berpotensi sebagai penyebab siswa stress. Sekolah harus mengetahui apa yang diinginkan oleh siswa dalam kehidupan mereka. Sekolah berusaha untuk menciptakan kondisi yang kondusif. Satu lagi fakta. Ketika 1000 siswa dari rentang 13-17 tahun diminta untuk menyebutkan satu hal yang paling mereka inginkan dari kehidupan mereka, inilah yang mereka katakan :

Apa ? Menurut siswa ?

Kebahagiaan 27.7%

Umur panjang dan menikmati hidup 15.9%

Menikah/berkeluarga 9.3%

Keuangan yang berhasil 7.8%

Karier yang ebrhasil 7.6%

Kepuasan dalam beragama 7.5%

Cinta 6.5%

Keberhasilan pribadi 5.7%

Kontribusi pribadi terhadap masyarakat 2.2%

Teman-teman 1.9%

Kesehatan 1.7%

Pendidikan 1.6%



(The Mood of American Youth (Alexandria, VA : Horatio Alger Association of Distinguished Americans dan The National Association of Secondary School Principles, 1996) dikutif oleh Peter L Benson,2007 : 427)

Perlu dikembangkan kegiatan-kegiatan belajar yang menantang, edukatif, kreatif, dan menyenangkan bagi siswa. Topik-topik pembelajaran usahakan dihadirkan secara aktual dan bermakna buat siswa. Banyaknya pengangguran dan kemiskinan dapat dijadikan topik bahasan dalam mata pelajaran pengetahuan sosial ekonomi misalnya. Semangat nasionalisme merah putih berkibar di Senayan dalam laga Piala Asia 2007 lalu dapat dijadikan bahan dalam pelajaran kewarganegaraan dan juga dalam lintas pelajaran olahraga. Berbagai musibah nasional seperti meledaknya pabrik petrokimia di Gresik, Lumpur Lapindo Sidoarjo, Gempa Bumi dan Tsunami Aceh dapat dijadikan inspirasi bagi lahirnya karya-karya siswa dalam berbagai bentuknya seperti laporan karya tulis, puisi, surat pembaca, drama, analisis kajian geografi, dan sebagainya. Sejarah Emas peran ulama dan umat islam dalam kemerdekaan republic Indonesia akan sangat menarik dianalisis dan dikupas oleh siswa dengan menghadirkan tokoh sejarah Islam semisal Ridwan Saidi. Tentu saja pola-pola seperti itu perlu dicontohkan oleh guru terlebih dahulu dan guru aktif mendampingi ketika siswa melakukan kegiatan seperti itu.

Mengembangkan profesionalisme guru dan tenaga kependidikan

Guru merupakan faktor kunci dalam pendidikan. Juga faktor kunci dalam pembelajaran. Banyak fakta menunjukkan profesionalisme guru belum maksimal. Banyak pelatihan dilaksanakan dan diikuti oleh guru. Guru kemudian menjadi tambah pandai karena mengikuti pelatihan. Portofolio pelatihan makin banyak dengan bukti fisik sertifikat yang diperolehnya.

Pengembangan guru tidak boleh berhenti pada guru menjadi pandai, tetapi harus sampai mampu menunjukkan kinerja profesionalnya yakni membimbing siswa dalam belajar.

Makna kompetensi professional adalah guru menguasai materi keilmuan secara mendalam dan menguasai kurikulum serta perangkatnya hingga pada kesiapan pembelajaran. Peningkatan kinerja profesionalnya bukan hanya diukur dari sisi gurunya, tetapi harus dilihat sejauhmana guru mampu mewujudkan learn to do, learn to be, learn how to learn, dan learn how to live together pada diri setiap siswa.

Dalam pengembangan profesionalisme guru beberapa hal harus mendapatkan perhatian seperti komitmen kerja guru dan pemberian dorongan kepada guru untuk mencobakan gagasan pembaharuan. Pemberian dorongan inovasi ini merupakan salah satu cara memberikan kepercayaan sekaligus tantangan untuk menunjukkan kemampuannya. Mereka harus didorong untuk tidak takut gagal dan tidak dicemoooh kalau gagal. Program-program peningkatan kreativitas dan inovasi dalam pembelajaran selalu ada dalam RAPBS dengan jumlah yang memadai sehingga mereka yang berhasil mendapatkan penghargaan. Penghargan dalam berbagai bentuk tidak selalu berupa uang, seperti kemudahan kenaikan golongan, ikut serta dalam berbagai kegiatan tertentu dan sebagainya.

Gairah kerja para guru perlu ditingkatkan dengan berbagai sentuhan psikologi dan religius. Karena pendekatan psikologi dan religius mampu meningkatkan komitmen kerja. Iklim ukhuwah kerja dimunculkan dalam berbagai bentuk yang sederhana dan tidak selalu mahal.

Dalam diri guru juga harus tumbuh kesadaran untuk senantiasa belajar. “Guru yang tidak mau belajar sebaiknya berhenti mengajar”, begitu kata Rektor UIN Syarif Hidayatulloh, Prof. Komarudin Hidayat.



Menggalang Partisipasi Masyarakat



Salah satu indikator masyarakat maju adalah adanya kontribusi positif kepada kemajuan masyarakat itu sendiri. Jika sekolah berada di lingkungan masyarakat, masyarakat tersebut akan berusaha memberikan kontribusinya. Mereka menyadari tanpa sekolah, masyarakat pun tidak akan maju. Pilihan mereka membantu sekolah adalah pilihan nurani dan cita-cita. Tidak ada dalam jiwa mereka anak-anak itu ingin bodoh. Mereka ingin anak-anaknya cerdas, pandai, dan berakhlak.

Nah sekolah inovatif akan selalu berusaha menggalang partisipasi masyarakat. Inovasi dalam kaitan dengan kehadiran sekolah dengan masyarakat dapat banyak bentuknya. Mulai dari menggalang kebersamaan dalam menjadikan sekolah yang aman, sekolah yang dimenjadi sumber cerita sugestif siswa, sekolah yang menjadikan masyarakat sebagai salah satu sumber belajar penting. Intinya, menggalang partisipasi masyarakat dapat berupa dorongan kepada masyarakat memberikan kontribusi pemikiran yang konstruktif pada program sekolah, kontribusi tenaga, kontribusi waktu, dan jika masyarakat mampu kontribusi dana.

Namun, untuk mendapatkan dukungan masyarakat, sekolah harus mampu melahirkan simpati masyarakat. Sekolah perlu menata dirinya agar pantas didukung oleh masyarakat. Jelas, masyarakat akan membantu jika mereka yakin sekolah dapat memanfaatkan bantuannya dalam bentuk nyata. Langkah awalnya -dalam kaitan masyarakat- adalah dengan tidak menyia-yiakan keberadaan komite sekolah. Komite sekolah tidak posisikan sebagai pemadam kebakaran jika sekolah perlu dana.



Penutup



Sekolah inovatif telah dibentangkan melalui tulisan sederhana ini. Semoga sekolah benar-benar dapat berfungsi sebagai institusi pencerdas bangsa dalam maknanya yang hakiki dan luas. Bukan berarti selesai dibaca tulisan ini, sekolah menjadi inovatif. Salah. Berinovasilah dengan memulai dari sekolah terdekat kita.

Menu Utama

* Home
* Profil
* Unit
* Kolom
* Reportase
* Konsultasi
* Artikel
* Karya Siswa
* Resensi Buku
* Taujih
* Kisah Inspiratif
* NF Peduli
* Gallery Foto
* Web Mail
* Alamat Kontak

Login

Username

Password

Remember Me

* Forgot your password?
* Forgot your username?
* Create an account

Info Palestina

* Al-Qossam : Semua Zionis Jadi Terget Serangan Kami
* Hamas Tepi Barat : Darah AS-Syahid Daudin Tidak Akan Percuma
* Amnesti Internasional: Serangan Israel ke Gaza Mendorong ke Jurang Tragedi
* Warga Palestina Jajahan 1948 Tantang Keputusan Israel Larang Peringati Nakbah
* Badan Arab Internasional untuk Pemulihan Gaza Dirikan Bironya di Jalur Gaza
* Baher Umumkan Revisi Tiga UU
* Tahanan Hamas Sampaikan Ucapan Selamat dalam Peringatan Kemenangan Perlawanan Libanon

Republika

* Daftar SNMPTN Bisa di Bank Mandiri
* Dikti Sediakan 4.000 Beasiswa SNMPTN
* Akses Pendidikan Kurang Merata
* Minim, Pustakawan di Perpustakaan Sekolah
* Pendidikan Seks Sebaiknya di SMA
* Masih Sedikit Pelajar Kunjungi Galeri Nasional
* Unlam Terima Hibah Rp 8,7 Miliar

Arsip

* December, 2008
* November, 2008
* October, 2008
* September, 2008
* August, 2008
* June, 2008
* April, 2008
* March, 2008
* February, 2008


Link

UG-ICT AWARD 2008
Edukasi-NET
Jardiknas
Beasiswa.COM
Harun Yahya
Dakwatuna
Pengunjung
Sejak September 2008
mod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_countermod_vvisit_counter
mod_vvisit_counter Hari ini 93
mod_vvisit_counter Pekan ini 1210
mod_vvisit_counter Bulan Ini 6529

Our site is valid CSS Our site is valid XHTML 1.0 Transitional

Rabu, 20 Mei 2009

Foto Wisuda di IKIP UNJUNGPANDANG



bersama ayah tercinta Demmatadju dan Siti Suberiah ketika di wisuda di IKIP Ujungpandang

Ridwan Demmmatadju bersama sutardji colsoum bahri di Pertemuan Sastrawan Nusantara

SMAN 1 Latambaga


BERITA PENDIDIKAN

UNHALU BAHAS PENYELENGGARAN UN
Tak sekadar membahas program kerja lingkup Unhalu, tetapi penyelenggaraan ujian nasional (UN) bersama Dinas Pendidikan Sultra dan Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) saat rapat kerja (Raker) di lingkup Unhalu, akhir pekan lalu dibahas. Inti pembahasan terkait beberapa ketimpangan yang terjadi saat UN, termasuk bagaimana mengatasi kerawanan yang kemungkinan bisa terjadi.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pendidikan Sultra Drs Masri MPd, mengatakan, sebagai pengajar pada jenjang pendidikan dasar dan menengah tentu saja guru yang paling resah saat penyelenggaraan UN. UN menjadi momok sebagian besar orang, baik dari pendidik maupun peserta didik (siswa-red) itu sendiri.

“ Hasil pengamatan yang dilakukan Dinas Pendidikan Sultra, ada sekolah yang belum menerapkan aturan yang berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan khususnya UN. Merujuk pada PP Nomor 19 Tahun 2005, penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah memiliki tiga tahapan yang selama ini tidak dilaksanakan dengan baik,”tandas Masri.

Penilaian tersebut, lanjutnya, adalah penilaian hasil belajar yang dilaksanakan pendidik itu sendiri. Tepatnya, saat proses belajar mengajar, guru cenderung memberikan nilai subyektif, tidak menilai siswa dengan kompetensi yang dimiliki siswa. Penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh satuan pendidik, umumnya sebagian kepala sekolah mengharuskan semua siswanya naik kelas, sehingga untuk menghindari teguran dari kepala sekolah guru cenderung memberi nilai sesuai kehendak kepala sekolah serta penilaian hasil belajar yang dilakukan oleh pemerintah yaitu melalui UN.

“Ada beberapa hal agar UN dapat dijadikan alat untuk memajukan mutu pendidikan di antaranya, perlunya sosialisasi, pembuatan kisi-kisi yang melibatkan semua kompenen, perakitan soal, pendataan peserta ujian, pencetakan naskah, pendistribusian naskah ke daerah-daerah, pengawasan, pelaksanaan UN serta penetapan kelulusan,” ungkap mantan Kepala SMAN 2 Kendari ini.

Staf LPM Sultra Alaudin Majid, mengakui selama penyelenggaraan UN banyak kritikan dari masyarakat baik pemerhati pendidikan ataupun masyarakat umum. Mereka mengganggap UN tidak berjalan dengan adil. Karenanya, sebagai penyelenggara UN dituntut menggunakan langkah yang jitu untuk mengantisipasi fakta yang akan terjadi dilapangan selama ini.

“Kondisi penyelangaraan UN, masih terdapat penyimpangan dari apa yang ditentukan dengan prosedur operasi standar. Penyimpangan ini muncul pada tingkat provinsi, Kabupaten/Kota dan satuan pendidikan. Ketidaksesuaian seperti kondisi bahan ujian di antaranya jumlah soal yang kurang, lembar jawaban sobek, hasil cetak naskah buram serta halaman soal yang terbalik,” tutur Alaudin Majid.

Rektor Unhalu Prof Dr Ir Usman Rianse MS, juga menjelaskan, jika tahun ini penyelenggaraan UN berhasil membangun citra UN, maka dapat menjadi virus positif bagi pengembangan kualitas pendidikan di Sultra. Perubahan strategi pelaksaan UN, bagi SMA dan Madrasah Alliyah adalah keinginan pemerintah dan masyarakat yang dituangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003, bahwa UN diselenggarakan dengan lembaga independen sehingga tidak bertentangan dengan otonomi daerah karena organisasi independen yang disepakati pada tingkat nasional adalah badan standar nasional pendidikan. Sementara hasil ujian tertentu harus menjadi salah satu syarat untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang berikutnya.

“Ide itu pernah diminta majelis rektor se-Indonesia, 20 hingga 30 persen hasil UN dapat dijadikan syarat untuk masuk Perguruan Tinggi, namun ditolak, karena UN belum kredibel,” pungkasnya.

BERITA TERKINI

BKD SUSUN FORMASI CPNS 2009
Rencana penerimaan CPNSD 2009 yang akan dilakukan serentak pemerintah mengharuskan Pemprov Sultra mengusulkan jumlah kuota pamong yang dibutuhkan daerah ini ke pusat. Sekarang, 12 BKD Kabupaten/Kota tengah merampungkan data keseluruhan jumlah CPNSD.

“Setelah dilakukan analisa kajian kebutuhan, maka barulah formasi usulan disampaikan ke kementrian pendayagunaan aparatur negara,” terang Thamrin Patoro, Asisten III Pemprov Sultra beberapa hari lalu. Nantinya, berapa jatah Sultra, Asisten III Pemprov ini tidak mengetahui secara pasti, mengingat Kementrian PAN belum menyampaikan pesan tertulis kuota formasi 2009.

Terkait perbandingan penerimaan antara tenaga teknis, kesehatan, dan guru , ketua panitia penerimaan CPNSD 2008 ini mengatakan masing-masing BKD menyusun sesuai kebutuhan daerah.

Soal kepastian waktu penerimaan, Thamrin menepis memberi sinyal kepastian, apalagi Pemprov belum mengetahui kuota pembagian pusat. “Nanti-nantilah, waktunya akan kami publikasikan bila momennya tepat,” tutur pria berkumis tipis ini.

Saat ditanya formasi tambahan 2008 seperti yang dijanjikan sebelumnya, Thamrin memilih puasa berbicara, dan tak berani lagi berargumen. Tetapi kata dia, jadwalnya telah diketahui pemerintah, hanya saja sejauh ini belum dapat diketahui masyarakat, mengingat sifatnya rahasia. “Kami perjuangkan tetap ada,” tambah Thamrin sambil berlalu dengan kendaraan dinasnya.

Sekedar mengingatkan, Desember 2008 lalu, Thamrin Patoro pernah mengumbar janji bila Pemprov mendapat jatah tambahan CPNSD 2008 sebanyak 3000-an orang. Dimana penerimaannya dibuka medio Januari, dan Februari. Namun hingga akhir bulan ini, tanda-tanda isyarat mantan Kadis Sosial itu semakin kabur.

OPINI PENDIDIKAN


Kambing Hitam Bernama Ujian Nasional

Oleh : Ridwan Demmatadju

Upaya meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia boleh jadi hanya isapan jempol belaka dan penuh dengan kebohongan yang massif terjadi depan mata. Perangkat Ujian Nasional (UN) menjadi jalan pintas untuk mengukur keberhasilan sebuah intitusi formal maulai dari sekolah hingga pejabat kepala dinas pendidikan baik di tingkat kabupaten hingga di pusat. Ketika angka-angka peningkatan kelulusan itu terlihat mengalami peningkatan yang cukup signifikan maka disimpulkanlah bahwa mutu pendidikan membaik.Namun jika angka-angka itu terlihat anjlok maka mulai dari pejabat di pusat hingga di kabupaten ramai-ramai mencari kambing hitam untuk dijadikan tumbal sorotan masyarakat serta media cetak dan elektronik.

Sebenarnya apa yang salah dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.Padahal anggaran pemerintah yang digelontorkan disektor pendidikan kita terbilang cukup besar jumlahnya. Dari kebijakan anggaran dari Pemerintah sudah cukup berpihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita.Namun banyak anggapan dengan besarnya anggaran saja tidaklah cukup untuk mendongkrak mutu pendidikan kita hari ini, karena sesungguhnya persoalan tidak sesederhana yang kita bayangkan. Membicarakan mutu pendidikan sangatlah kompleks permasalahannya.

Kemudian,untuk membedah sekaligus mencari solusi atas persolan dunia pendidikan hingga hari ini tak ada satupun teori maupun metode yang baku dan berlaku permanent. Bahkan dari sekian banyak seminar,workshop, yang dibawakan oleh para pakar pendidikan di Indonesia hari ini faktanya mutu pendidikan kita masih terbelakang dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Dari berbagai persoalan yang terjadi di dunia pendidikan kita hari ini, nampaknya kita telah terjebak pada aturan main yang sangat kaku dari perencanaan peningkatan mutu pendidikan yang dikeluarkan pihak Depdiknas di Jakarta. Kendati dalam penjabarannya pihak Depdiknas sebenarnya, mengharapkan adanya kreativitas dari operator pendidikan mulai dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota dalam hal ini Kepala Sekolah dan guru dapat menyesuaikan format kurikulum yang dibuat pihak Depdiknas. Karena disadari penjabaran kurikulum di sekolah itu berperinsip pada fleksibilitas tidak kaku, disesuaikan dengan kondisi sekolah di tiap daerah. Namun dalam kenyataannya masih banyak juga yang tak memahami prinsip dasar dari kurikulum itu. Disinilah persoalan besar yang menurut penulis memerlukan perhatian serius dari pejabat dinas pendidikan yang berwenang untuk mengaturnya. Jika tidak maka benang kusut persoalan pendidikan di Indonesia tak akan pernah menemukan titik penyelesaian.

Membicarakan wacana mutu pendidikan kita hari ini, lagi-lagi kita selalu terjebak pada perdebatan dengan argumentasi yang dangkal, bahwa mutu pendidikan hanya menjadi tanggungjawab guru yang dianggap sebagai operator lapangan. Paradigma masyarakat ini juga menjadi soal, padahal untuk mengangkat mutu pendidikan adalah tanggungjawab semua pihak yang terkait dengan pendidikan, bukan ditangan guru dan kepala sekolah saja.

Sementara, upaya yang dilakukan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas selaku penanggungjawab pengembangan dan perencanaan mutu pendidikan di Indonesia juga terkesan menyederhanakan sekaligus mengesampingkan persoalan krusial yang terjadi di setiap daerah dalam menerapkan standar mutu pendidikan. Dengan pemberlakuan UN dengan materi yang seragam serta tingkat kesulitannya sama, ternyata hingga hari ini masih menjadi polemik dikalangan praktisi pendidikan utamanya guru yang mengajar di sekolah.

Sangat ironis memang, ketika pihak Depdiknas menerapkan standar secara nasional angka kelulusan dengan nilai 5.50 untuk semua mata pelajaran UN. Dari angka kelulusan ini saja setidaknya menjadi masalah besar telah terjadi di setiap sekolah di daerah tertinggal dengan fasilitas dan tenaga pengajar dimiliki yang tidak memamadai untuk mengejar angka kelulusan tersebut. Sebagai konsekuensi keputusan yang berlaku nasional dan bersifat “dipaksakan” dalam pelaksanaannya di setiap provinsi dan kabupaten/kota sehingga menimbulkan respons yang negatif dari pejabat pendidikan di daerah. Dengan berbagai cara dan upaya untuk mendapatkan penilaian lulus hingga 100 persen ditempuh oleh pihak yang berkepentingan untuk mengangkat citra pendidikan di daerahnya, meski dengan cara-cara yang tidak patut diteladani seperti membocorkan soal, menyebarkan jawaban kepada siswa hingga membentuk tim sukses UN. Parahnya lagi, perbuatan tidak terpuji ini dilakukan oleh oknum kepala sekolah dan guru-guru, serta pengawas UN seperti banyak diberitakan di media cetak dan televisi sesaat menjelang pelaksanaan UN 2009 di seluruh Indonesia.

Dari fakta-fakta yang terpublikasi secara terbuka ini setidaknya menjadi pukulan berat bagi Depdiknas untuk melakukan perubahan secara komprehensif. Bukan mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Paling tidak ada beberapa tawaran solusi untuk melakukan perubahan dalam penilaian kualitas pendidikan kita khususnya di jenjang pendidikan dasar dan menegah.

Pertama, memberikan kewenangan setiap daerah baik di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota untuk menentukan sendiri standar kelulusan dalam pelaksanaan Ujian Nasional, yang bermuara pada penilaian dari pihak sekolah. Dengan pertimbangan bahwa penilaian secara nasional yang selama ini diberlakukan selama ini tidak memberikan jaminan mutu terhadap dunia pendidikan kita. Mutu pendidikan kita dari hari ke hari semakin buruk saja jika kita mengacu angka-angka sebagai bentuk penilaian kuantitatif. Dan rupaya Depdiknas telah terjebak pada penilaian angka-angka yang secara implementaif tidak dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas.

Kedua, Persoalan ini dapat teratasi jika pihak penyelenggara pendidikan baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/kota yang didukung pihak sekolah memiliki sikap tegas dan kesamaan presepsi dalam memerikan output penilaian mutu pendidikan.

Ketiga, semua pihak penyelenggara pendidikan memiliki transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanan kebijakan di bidang pendidikan, termasuk pengelolaan anggaran di sector pendidikan. Hal ini sangat penting diterapkan untuk mengajak peran serta semua elemen masyarakat untuk peduli terhadap mutu pendidikan di Indonesia.

Keempat, untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang bernilai serta bermanfaat bagi masyarakat diperlukan gerakan pencerahan sebagai bentuk kesadaran moral semua pihak yang terkait dengan pendidikan, utamanya guru dan kepala sekolah sebagai ujung tombak peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Tentunya, pihak pemerintah membuat regulasi peningkatan penghargaan dan apresiasi terhadap guru di lapangan. Salah satu upaya yang telah dilakukan peemerintah adalah dengan sertifikasi guru dan memberikan tunjangan kepada guru tidak tetap (GTT) yang telah mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Setidaknya upaya pemerintah pusat melalui Depdiknas ini telah memberikan apresiasi terhadap guru.

Kelima, pihak Diknas baik di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota membuka diri untuk menerima kritik dan saran dari masyarakat. Karena selama ini banyak institusi yang dibentuk untuk mengawal kebijakan pemerintah di bidang pendidikan namun terkesan tidak bekerja sesuai harapan, seperti komite sekolah, dewan pendidikan. Termasuk membuka diri terhadap kritik media dan lembaga swadaya masyarakat peduli pendidikan, karena sesungguhnya persoalan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia juga sangat ditentukan oleh keterlibatan semua stakeholder untuk ikut membantu. Selain itu, upaya menyelesaikan persoalan mutu pendidikan nampaknya problem krusial juga terjadi di luar sistem birokrasi sekolah, seperti faktor lingkungan sosial, latar belakang ekonomi dan ketersediaan sarana belajar bagi masyarakat menjadi variable yang ikut menentukan mutu pendidikan di daerah.

Dari lima tawaran solusi ini, paling tidak dapat dijadikan acuan untuk mengambil keputusan apakah UN masih layak dipertahankan atau dilakukan revisi untuk perubahan. Hal ini terpulang pada sang penguasa di negeri ini yang mengatur system pendidikan di Indonesia dan political will dari Depdiknas untuk mendengar masukan dari masyarakat. UN dapat saja dipertahankan dengan beberapa catatan penting yang memerlukan pembahasan secara teknis dengan memperhatikan indicator outputnya sehingga tidak menimbulkan polemik yang tak kunjung selesai.Apalagi kita sibuk mencari kambing hitam.

Penulis adalah mantan wartawan, kini bekerja sebagai praktisi pendidikan di SMA Negeri 1 Latambaga, Kabupaten Kolaka. Email : ridwandmkolaka@yahoo.co.id